• Pemerintah menangguhkan World ID karena pelanggaran administratif dan kekhawatiran atas penggunaan data biometrik.
  • Tools for Humanity menghentikan verifikasi sambil menunggu klarifikasi terhadap aturan sistem elektronik di Indonesia.

Worldcoin kembali menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Bukan karena teknologi barunya, tapi justru karena pemerintah memutuskan untuk menangguhkan operasional proyek identitas digital mereka, World ID.

Keputusan ini keluar setelah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menemukan adanya pelanggaran administratif dan dugaan aktivitas yang tidak sesuai regulasi. Sertifikat penyelenggara sistem elektronik dari salah satu entitas terkait pun ditangguhkan , sambil menunggu klarifikasi lebih lanjut.

Izin World ID Ditangguhkan, Indonesia Ambil Langkah Tegas

Masalahnya bukan cuma soal dokumen. Salah satu entitas lokal yang menjalankan proyek ini ternyata belum terdaftar secara resmi sebagai penyelenggara sistem elektronik. Di saat bersamaan, perusahaan resmi yang memegang izin juga diminta menjelaskan sejumlah aktivitasnya.

Tak butuh waktu lama, Tools for Humanity selaku pengembang Worldcoin langsung merespons. Mereka menyatakan akan menghentikan sementara aktivitas verifikasi di Indonesia. Langkah ini, menurut mereka, adalah bentuk kepatuhan atas kebijakan lokal. Tapi tetap saja, publik bertanya-tanya: apakah proyek ini terlalu berisiko untuk dibiarkan meluas begitu saja?

Tekanan Tambahan di Tengah Antusiasme Pasar Kripto Lokal

Coba bayangkan kalau kamu harus memberikan data biometrik matamu hanya untuk mendapatkan akses ke layanan keuangan digital. Itulah yang terjadi dalam proyek World ID yang sempat marak dipromosikan. Namun di banyak negara berkembang—termasuk Indonesia—model seperti ini menimbulkan kekhawatiran.

Tidak semua orang paham risiko dari penggunaan data biometrik, apalagi ketika disimpan dan dikelola oleh pihak luar negeri. Meski Worldcoin mengklaim mereka tak menyimpan data pribadi pengguna, tetap saja muncul banyak pertanyaan yang belum dijawab tuntas.

Di sisi lain, ekosistem kripto di Indonesia justru sedang mengalami momentum positif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja mengambil alih pengawasan dari Bappebti per Januari 2025, mencatat lonjakan besar dalam volume transaksi. Tercatat ada transaksi senilai Rp44,07 triliun di bulan Januari saja—lebih dari dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Tak berhenti di situ, OJK juga melaporkan bahwa hingga Februari, sudah ada 1.396 aset kripto yang sah diperdagangkan dan 19 entitas yang telah mengantongi izin resmi.

Lebih lanjut lagi, Bursa Komoditi Nusantara (CFX) melihat tahun ini sebagai peluang emas. Mereka memproyeksikan pertumbuhan tajam dalam volume transaksi, apalagi setelah regulasi semakin jelas dan investor mulai merasa lebih nyaman bertransaksi secara lokal.

Sayangnya, di tengah pertumbuhan ini, pelaku industri justru menghadapi tantangan lain: pajak . Saat ini, transaksi kripto masih dikenakan PPh 0,2% dan PPN 0,11%. Tidak sedikit yang merasa angka ini justru membebani dan bisa membuat investor lokal memilih keluar ke negara dengan pajak lebih ramah.

Meski sorotan tertuju pada penangguhan Worldcoin, perlu dicatat bahwa proyek ini masih aktif memperluas jangkauannya secara global.

Seperti yang telah kami laporkan , mereka bahkan telah menjalin kemitraan dengan RedStone, memungkinkan pengembang mengakses lebih dari 1.250 feed harga dengan efisiensi biaya dan keamanan se-level Ethereum, khususnya untuk aplikasi DeFi. Tapi ya… langkah agresif ini bisa jadi bumerang jika tak disertai pemahaman yang cukup tentang konteks lokal, apalagi menyangkut regulasi dan privasi warga.